Jumat, 06 November 2009

Hubungan Periodontitis dengan Stres psikologi

.. dari diskusi jurnal yang telah saya presentasikan..
by- titian putri-



Abstrak

Periodontitis dan hubungannya dengan variable psikoneuro-imunologi, seperti stress psikologi dan kortisol telahsedikit dipelajari. Objek penelitian ini yang dievaluasi adalah perluasan dan keparahan dari periodontitis kronik dan hubungannya dengan level kortisol pada saliva yang dilakukan pada responden yang mengalami stress psikologi pada usia 50 tahun dan di atasnya. Kami meneliti 235 orang dengan metode penelitian crossectional. Mereka menjelaskan penemuan Lipp’s mengenai gejala stress pada orang dewasa, yang diintruksikan untuk mengumpulkan 3 sampel saliva untuk menganalisis kortisol, dan diuji untuk mengevaluasi periodontits. Berdasarkan data regresi logistik level kortisol yang positif dapat dihubungkan dengan hasil di bawah ini level perlekatan (CAL) >=4mm [OR + 5.1, 95% CI (1.2, 20.7)]: 30% lainnya dengan CAL >=5mm [OR = 6.9, 95%CI (1.7, 27.1)]; dan 26% lainnya dengan probing depth > = 4mm [OR = 10.7, 95%CI (1.9, 54.1)] setelah penyesuaian variable yang tidak beraturan. Hasilnya membuktikan bahwa level kortisol secara positif berhubungan dengan perluasan dan keparahan dari periodontitis.

Introduction

Stress didefinisikan sebagai stimulus atau respon. Definisi stimulus lebih kepada kejadian lingkungan. Definisi respon, lebih banyak mengarah pada biologi dan obat2an disebut stress. Definisi stress ini mempunyai beberapa pendekatan dan beberapa definisi terbaru yang menitikberatkan hubungan di antara manusia dan lingkungannya, baik dalam menghitung karakteristik orang dan keadaan stress. (Lazarus and Folkman, 1984).

Fungsi organism diatur oleh system saraf dan endokrin, yang saling berhubungan. Ada dua jalur otak dan system imun. Satu diantaranya adalh hipotalamus-pituitary adrenal. (Guyton and Hall, 2000).

Hal Itu telah dikenal selama beberapa decade bahwa stres, entah inflamasi, trauma atau fisiologis dihubungkan dengan aktivasi bersama-sama dari hipotalamus-pituitary-adrenal. Di awal tahun 1990, itu menjadi bukti bahwa sitokin dan mediator humoral lainnya dari inflamasi adalh activator yang poten pada pusat respon stress. (Tsigos et al., 1997). Pada satu tangan, glukokortikoid dikeluarkan melalui aktivasi kelenjar hipotalamus-pituitary-adrenal menjadi sangat penting, karena kemapuannya untuk mengatur kebutuhan sel imun pada jaringan inflamasi, sebagaimana kemiringan Th1/Th2, keseimbangannya mengarah pada sebuah respon Th2 yang dominan. (Breivik and Thrane, 2001). Begitu pula umpan balik negative dengan aktivasi system imun dihubungkan dengan peningkatan sirkulasi sitokin, meningkatkan aktivitas dari hormon cortocotropin-releasing, mengaktivasi hipotalamus-kelenjar pituitary adrenal dan menyebabakan tingginya level kortisol. Ketika inflamasi cukup lama dan adekuat, manifestasi sistemik dari penyakit mungkin menjadi nyata, dan bisa juga terjadi pada periodontitis. (LeResche and Dworkin, 2002).

Ada beberapa penelitian yang telah mempublikasikan sebuah hubungan antara stress fisiologi dan penyakit inflamasi seperti rheumatoid arthritis (Zautra et al., 1997) dan periodotitis (da Silva et al., 1995; Breivik et al., 1996; Aurel et al., 1999; Genco et al., 1999). Tetapi, mengapa dan bagaimana faktor ini dihubungkan dengan peningkatan kerentanan penyakit periodontal yang sangat sulit dimengerti. Yang meliputi otak-neuroendocrin-interaksi imun, Karena itu, ini sangat penting cakupannya untuk dipelajari (Breivik and Thrane, 2001).

Walaupun peneliti telah meneliti dampak dari respon imun dan komponen psikososial pada perluasan dan keparahan periodontitis, beberapa penelitian telah mengevaluasi dampak hubungan antara psycososial, status system imun, dan kesehatan dari jaringan periodontium. Hipotesa kami adalah stress ini menimbulkan hipotalamus-pituitari-adrenal menjadi hiperaktif dan menstimulasi periodontitis. Demikian, tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi perluasan dan keparahn dari periodotitis kronis dan hubungannya dengan level kortisol dan keadaan gejala stress pada populasi usia 50 dan lebih.

Bahan Dan Metode Penelitian

Populasi dan Sampel

Dalam penelitian cross-sectional, kami meneliti dari 235 orang yang dipilih dari sukarelawan dan dari kelompok-kelompok kegiatan sosial Porto Alegre, Brasil. Pengasuh dimasukkan karena mereka mewakili sebagai contoh untuk perluasan dari dampak stres kronis pada endokrin dan fungsi-fungsi kekebalan (Bauer et al., 2000). Sampling ini lah sangat bagus.
Kami mengambil sample yang dengan sekurang-kurangnya memiliki 6 gigi, kecuali gigi geraham ketiga, dan yang berusia 50 tahun atau lebih tua dan hidup secara mandiri. Sukarelawan yang secara kronis menggunakan kortikosteroid atau obat imunosupresor dan juga bagi penderita penyakit penurunan daya tahan tubuh. penelitian ini disetujui oleh Komite Etika dalam Penelitian dari Rumah Sakit de Clínicas de Porto Alegre, dan semua peserta memberikan persetujuan tertulis.

Langkah

Para sukarelawan menjawab kuesioner tentang variabel-variabel demografis dan tingkat sosial ekonomi, paparan tembakau (merokok), riwayat kesehatan, dan pertanyaan-pertanyaan spesifik tentang perawatan kesehatan diri mereka.

Evaluasi Psikologis

Gejala stress menurut Lipp's biasanya ditemukan pada orang dewasa (Lipp, 2000), adalah sebuah alat evaluasi psikologis yang dikembangkan dan divalidasi untuk digunakan di Brazil, ini diterapkan untuk mahasiswa psikologi di bawah bimbingan seorang psikolog. Setelah penemuan selesai , sukarelawan menerima bahan-bahan untuk pengumpulan saliva, dan pengaturan tanggal untuk dilakukan pemeriksaan klinis ditetapkan.

Pemeriksaan klinis

Dua pemeriksa melakukan pemeriksaan klinis. Pertama, pemeriksaan plak indeks (VPI) dan indeks perdarahan gingiva (GBI) (Ainamo dan Bay, 1975) di evaluasi. Pemeriksaan klinis dilakukan untuk melihat keadaan periodontitis seperti: kedalaman pocket(PD) , kehilangan perlekatan klinis (CAL) (Glavind dan Loe, 1967), dan cek Bleeding On Probing (BOP). A # 5 odontoscope (SS Putih, Rio de Janeiro, Brazil) dan Williams periodontal probe (0,6 mm diameter) (Premier, King of Prussia, PA, USA) yang digunakan dalam pemeriksaan. Hanya enam gigi yang diperiksa dari seluruh gigi yang ada, probe periodontal itu dimasukkan ke dalam soket periodontal sejajar dengan sumbu gigi.

Kami melakukan "pra-studi" uji reliabilitas dengan melakukan pemeriksaan gigi kembali kepada enam sukarelawan yang dipilih dari Klinik Gigi Geriatri, Universitas Federal Rio Grande do Sul. Pemeriksaan ulang untuk memeriksa reproduktifitas "selama penelitian" itu dilakukan 2 jam dari pemeriksaan awal (Van der Weijden et al., 1994), di 6,5% (16 peserta) dari 247 peserta yang diperiksa giginya.

Periodontitis yang parah didefinisikan dengan kehilangan perlekatan klinis lebih dari 4 mm (Genco et al., 1999). Periodontitis luas didefinisikan sebagai 30% dengan CAL >=5 mm, atau 26% lainnya dengan PD 4 mm.

Analisis Kortisol

Saliva dikumpulkan dengan cara menggunakan cotton roll steril. Masing-masing sukarelawan diinstruksikan untuk meletakan cotton roll di mulut dan biarkan hingga terbasahi oleh saliva (3 menit). Setelah itu, air liur disimpan di 1500-μL kode (ID dan jam) tabung Eppendorf. Sampel dikumpulkan 1 hari sebelum pemeriksaan, yang pertama antara 8 dan 9 pagi (sebelum sarapan), yang kedua 11-1 (sebelum makan siang), dan yang ketiga antara 8 dan 9 am (sebelum makan malam). Tabung Eppendorf yang disimpan pada suhu 4 ° C dilakukan oleh pasien dikirimkan pada hari pemeriksaan. Tiga kali pengumpulan kortisol (pagi, siang, dan malam) digunakan untuk memantau irama diurnal kortisol (Bauer et al., 2000). Semua sampel disimpan dalam freezer pada -20 ° C. Setelah defrosted, sampel disentrifugasi selama 5 menit di 1500 g. saliva kortisol dalam sampel diukur dengan cara radioimmunoassay (Lambang-A-Lambang kit, DPC, Los Angeles, CA, USA) untuk penentuan jumlah kortisol dalam saliva secara invitro. Analisis dilakukan dua kali dalam serial set. Antar-dan intra-assay bervariasi koefisien variasi 5,1-7,9%.

Untuk pemeriksaan kami, tiga pengukuran dirangkum oleh area di bawah kurva (AUC). Semua individu yang kortisol AUC setidaknya 34,94 nmol / L / hr (90 persentil untuk AUC) diklasifikasikan sebagai hypercortisolemik.

Analisis Statistik

Semua kelompok dibandingkan dengan uji chi-square, pada kasus variabel kategori dan Student’s t test untuk variabel yang berkesinambungan.

Nilai AUC untuk radioimmunoassay kortisol diperoleh dengan menggunakan aturan trapezoidal dengan Software GraphPad Prism 4,00 (GraphPad Software, San Diego, CA, AS).

Pemeriksaan inta dan inter memperoleh data pengukuran kategori yang sebelum dan selama studi (VPI, GBI, dan BOP) yang berkelajutan oleh koefisien Kappa Cohen (Fleiss dan Chilton, 1983). Keterulangan dari variabel yang berkelanjutan (PD dan CAL) yang diuji oleh metode yang digambarkan oleh Bland dan Altman (1998) dan juga telah diringkas oleh koefisien korelasi intrakelas (Bland dan Altman, 1998). Ketepatan Lipp’s Stress Inventory diuji dengan menggunakan rata-rata koefisien Alfa Cronbach (Lipp, 2000).

Kami menghitung dengan korelasi Spearman untuk memeriksa hubungan antara Lipp’s Stress Inventory dan kortisol saliva.

Multivariasi dari regresi logistik dibolehkan dalam penyesuaian hubungan antara hypercortisolemia dan periodontitis untuk kesalahan yang mungkin terajadi, seperti demografis dan variabel ekonomi-sosial, seperti juga untuk diabetes, merokok, kebiasaan dalam menjaga kesehatan rongga mulut, waktu sejak kunjungan terakhir ke dokter gigi, perawatan periodontal sebelumnya, VPI, GBI, BOP, Lipp’s Stress Inventory (tahapan dan nilai stres), dan status sukarelawan. Demografis dan variabel ekonomi-sosial, diabetes, merokok, dan kebiasaan dalam menjaga kesehatan rongga mulut itu telah dilaporkan. Analisa dilakukan dengan menggunakan rata-rata dari SPSS (SPSS Inc., Chicago, IL, AS). Semua variabel bebas menunjukkan hubungan dengan p <025,>025, itu dihilangkan, dan suatu model baru kembali diperhitungkan. Model baru itu selalu dibandingkan dengan yang sebelumnya dengan kemungkinan rasio tes. Penyesuaian Odds Ratios (OR) ditunjukkan dengan 95% tingkat kepercayaan (95%CI).

Lebih banyak detail mengenai drop-outs, evaluasi psikologis, analisa keterulangan klinis dan data, analisis kortisol saliva, dan penilaian atas kekacauan di dalam studi itu yang diperlihatkan pada APPENDIX

HASIL

Karakteristik dari sampel yang dipelajari ditunjukkan pada Tabel 1. Terdapat persentase yang lebih tinggi dari individu wanita. Jarak usia dari 50 sampai 86 tahun, dan pendapatan rata-rata perbulan lebih tinggi dari US$ 750.000. terdapat angka signifikan yang lebih tinggi dari selain sukarelawan dengan hypercortisolemia (30% dibandingkan dengan 54%, p = 004) (tabel 1).

Koefisien Kappa untuk keterulangan pemeriksaan secara intra dan inter dari VPI sebelum dan selama studi yang dilakukan memiliki rentang antara 0.7 sampai 0.84. Untuk GBI dan BOP, Kappa sekitar 0.50. Rata-rata pengukuran keterulangan pemeriksaan inta dan inter berbeda secara absolut antara pengukuran variabel (yaitu PD dan CAL) yang berada antara rentang 0.22 dan 0.35 mm. Koefisien korelasi intrakelas untuk keterulangan pemeriksaan secara intra dan inter pada PD dan CAL sebelum dan selama studi berjarak pada rentang 0.72 sampai 0.94. Nilai Alpha Cronbach untuk ketepatan evaluasi Lipp’s Stress Inventory adalah 0.89.

Nilai dari korelasi Spearman (rS) antara perbedaan fase dan nilai Lipp’s Stress Inventory dan juga AUC dari pengukuran kortisol saliva termasuk dalam material tambahan. Analisa dari data menunjukkan secara signifikan hubungan tidak statistik antara atau antar manapun pada materi yang dievaluasi (- 0.1 <>0.18).

Hasil dari analisis regresi logistik menunjukkan dalam hasil yang kasar dan disesuaikan dengan respon OR’s dan sesuai 95%CI (tabel 2, 3). Variabel berikut ini yang termasuk pada model akhir ( p >0.25): tingkat pendidikan yang diterima di sekolah, pendapatan, VPI, merokok, diabetes, dan tahapan Lipp’s Stress Inventory (siaga, resisten, kelelahan-pura-pura, dan fase kelelahan stres) dan nilai (nilai stres pada 24 jam, satu minggu, dan satu bulan).

Variabel hypercortisolemia (Y/T), BOP sedikitnya 26% dari lokasi (Y/T), jenis kelamin dan kunjungan terakhir ke dokter gigi lebih dari setahun yang lalu (Y/T) menunjukkan keterhubungan secara bebas dengan keparahan pada periodontitis (rata-rata CAL > = 4 mm dibandingkan dengan <>60 tahun dibandingkan dengan ≤ 60, dengan suatu hal positif dan kecenderungan signifikan antara usia dan hasil), jenis kelamin, BOP pada 25% dari lokasi dibandingkan dengan ≤ 25%, dan kesehatan rongga mulut (penyikatan dibandingkan dengan penyikatan dan flossing) keterhubungan secara bebas dengan tingkat dari periodontitis, seperti yang digambarkan oleh CAL (sedikitnya 30% dari lokasi-lokasi yang memiliki paling sedikit 5 mm kehilangan perlekatan dibandingkan dengan kurang dari 30%). Variabel hypercortisolemia (Y/T), usia (>70 dibandingkan dengan ≤ 60), BOP ( di dalam ≥ 26% dibandingkan dengan <>

Untuk hasil yang lebih lanjut ditunjukkan pada APPENDIX.

Tabel 1. Karakteristik dari sampel yang dipelajari (N=235)

Karakteristik

Individu dengan

Hypercortisolemia (N=23)

Individuals tanpa

Hypercortisolemia (N=212)

P*

Group (%) Caregivers

7 (30.4%)

114 (53.8%)

0.04

Sex (%)

Wanita

22 (95.7%)

175 (82.5%)

0.12

Tingkat pendidikan (%)




SD

7 (30.4%)

72 (34.0%)


SMA

5 (21.7%)

70 (33.0%)

0.49

Universitas

11 (47.8%)

70 (33.0%)


Usia (m±sd)

61.4 ± 7.2

61.6 ± 8.3

0.92

Pendapatan perbulan (US$) (m±sd)

906.3 ± 650.3

765.3 ± 692.0

0.36

Perokok (%)

Ya

3 (13.0%)

19 (9.0%)

0.53

Diabetes (%)

Ya

0 (0.0%)

18 (5.5%)

0.32

Jumlah Gigi (m±s)

17.8 ± 6.8

19.9 ± 6.8

0.16

Nilai P* dievaliasi melalui tes X² pada variabel discholomous dan student tes pada variabel berkelanjutan; m±sd = rata-rata ± standar deviasi

Diskusi

Hasil dari studi cross sectional ini menyatakan bahwa pada populasi dengan umur kurang dari 50 tahun kenaikkan kadar kortisol dihubungkan dengan tingkat keparahan periodontitis setelah dicocokkan dengan beberapa variabel penting, seperti umur, jenis kelamin, oral hygiene, BOP, kebiasaan merokok, Lipp’s Stress Inventory phase, dan jumlah populasi berumur 50 tahun atau diatasnya.

Peningkatan nilai diantara ukuran CAL dan PD perlu betul-betul dipertimbangkan dengan baik (Lopez et al,2003). Peningkatan dari nilai ukuran diantara penguji VPI perlu dipertimbangkan ketika nilai pemeriksaan inter dan intra VPI dan nilai pemerikasaan inter GBI baik(Fleiss and Chilton, 1983). Nila koofisien alpha 0,89 untuk Lipp’s Stress Inventory, yang mana berarti nilai tersebut dapat dipercaya.

Kelompok umur dewasa kurang dari 50 tahun dipilih untuk evaluasi dalam penelitian ini, karena study epidemologi mengindikasikan bahwa antara keparahan(Norderyd&Hugason, 1988;Wimmer et al.,2002) dan prevalensi periodontitis kronis lebih tinggi pada individu kelompok umur ini.

Pada study ini kadar kortisol tidak dihubungkan dengan indeks fase stress psikososial. Gabungan kekurangan ini sesuai dengan hasil penelitian Mengel (Mengel et al., 2002) dan Vedhara (Vedhara et al., 2003), yang mana hasil tesebut tidak menunjukkan adanya hubungan antara kortisol dan stress psikologi. Hasil ini mungkin dihubungkan dengan bagaimana sikap individu dalam menghadapi stress, dan itu akan menjadi penyesuaian dengan bukti yang mengindikasikan bahwa perbedaan strategi pada pemberi stress dapat menghasilkan respon stress yang berbeda dalam hipotalamus- kelenjar adrenal yang menghasilkan kortisol. Menurut Bohnen (Bohnen et al., 1991), ada korelasi negative antara factor pemberi stress dan respon individu berupa kortisol terhadap stress.

Kortisol telah dihubungkan dengan tiga hasil penelitian yang dicocokkan dengan beberapa variabel. Analisis pada data tersebut menunjukkan bahwa aktivasi hipotalamus – kelenjar adrenal yang menghasilkan kortisol mungkin dihubungkan dengan destruksi periodontal. Studi pada hewan coba telah menunjukkan bahwa tikus dengan perbedaan genetik yang besar pada struktur hiptalamus-pituitary-adrenal, dan pada reaksinya terhadap stimulus stress, terdapat perbedaan yang signifikan pada kerentanannya terhadap penyakit periodontal (Breivik et al.,2001). Perbedaan perilaku dan neuroendokrin genetic diantara individu dengan respon hipotalamus- pituitary-adrenal tinggi dan rendah, bagaimanapun dapat dimodulasi oleh factor lingkungan. (Breivik and Thrane, 2001).

Dua studi pada manusia menguji hubungan antara kortisol dan penyakit periodontal. Satu yang membuktikan hal tersebut, dalam suatu subsample dari individu dengan dan tanpa periodontitis (Genco et al., 1988), rata-rata kortisol lebih tinggi pada kelompok pasien dengan periodontitis. Pada study yang lain kadar kortisol pada pasien dengan periodontitis diuji interaksinya dengan psikososial stress. Secara statistic studi tersebut tidak menemukan hasil yang signifikan hubungan antara mediator imunologi (IL-1β, IL-6), kortisol dan stress (Mengel et al., 2002): namun ukuran sampel yang digunakan kecil.

Kerentanan terhadap penyakit periodontal terlihat sebagian dari inhibisi/ hambatan pada respon imun sel T yang dimediasi glukokortikoid. Kepastian ini merubah antibody yang dapat memediasi imunitas (Th2-respon mediator) kemudian pertumbuhan mikroorganisme pathogen yang mengaktivasi respon selular (Elenkov et al., 1996). Harga yang harus dibayarkan untuk mendukung aktivasi respon ini adalah destruksi jaringan lunak setempat yang diamati selama penyakit periodontal aktif(Breivik and Tharane, 2001).

Ini merupakan salah satu studi pertama pada manusia untuk mengevaluasi peran penting hiperaktivasi dari hipotalamus-pituitary-adrenal, dinilai dari kadar kortisol dalam saliva, pada periodontitis kronis yang parah dan luas. Bagaimanapun, secara longitudinal, studi dibutuhkan untuk menegaskan hipotesis ini. Penting juga studi baru pada epidemologi periodontal yang mengevaluasi dukungan social dan penentuan strategi stress, dengan psikososial stress, pada peningkatan progress periodontitis. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kortisol dan periodontitis kronis pada populasi berumur 50 tahun atau lebih.

pendek kata,, saran saya...

pertama jaga kesehatan rongga mulut biar tidak terjadi periodontitis...kedua,, stay cool dengan smua masalah jgn sampai stress karena allah tak akan membebankan umatnya, melebihi kapasitas umatnya... ^^ hehehe


1 komentar:

  1. mba, kalo jumlah kortisol pada penderita stres tinggi(ini kan neken jumlah leukosit,makrofag, dsb)

    BERARTI bila dia mengalami infeksi, inflamasinya tambah berat atau malah ditekan?

    Thx sebelumnya...

    BalasHapus